Kamis, 31 Januari 2013

Tiga Kerangka Dasar Agama Hindu

Dalam ajaran Agama Hindu dapat dibagi menjadi tiga bagian yang dikenal dengan "Tiga Kerangka Dasar", di mana bagian yang satu dengan lainnya saling isi mengisi atau berkaitan dan merupakan satu kesatuan yang bulat untuk dihayati dan diamalkan guna mencapai tujuan agama yang disebut Jagadhita dan Moksa.
Tiga Kerangka Dasar tersebut adalah:
Tattwa (Filsafat)
Susila (Etika)
Upacara (Yadnya)

1.  Tattwa  
Agama Hindu mempunyai kerangka dasar kebenaran yang sangat kokoh karena masuk akal dan konseptual. Konsep pencarian kebenaran yang hakiki di dalam Hindu diuraikan dalam ajaran filsafat yang disebut Tattwa. Tattwa dalam agama Hindu dapat diserap sepenuhnya oleh pikiran manusia melalui beberapa cara dan pendekatan yang disebut Pramana. Ada 3 (tiga) cara penyerapan pokok yang disebut Tri Pramana. Tri Pramana ini, menyebabkan akal budi dan pengertian manusia dapat menerima kebenaran hakiki dalam tattwa, sehingga berkembang menjadi keyakinan dan kepercayaan. Kepercayaan dan keyakinan dalam Hindu disebut dengan sradha. Dalam Hindu, sradha dibagi menjadi 5 (lima) esensi, disebut Panca Sradha.

Berbekal Panca Sradha yang diserap menggunakan Tri Pramana ini, perjalanan hidup seorang Hindu menuju ke satu tujuan yang pasti. Ke arah kesempurnaan lahir dan batin yaitu Jagadhita dan Moksa. Ada 4 (empat) jalan yang bisa ditempuh, jalan itu disebut Catur Marga.
Demikianlah tattwa Hindu Dharma. Tidak terlalu rumit, namun penuh kepastian. Istilah-istilah yang disebutkan di atas janganlah dianggap sebagai dogma, karena dalam Hindu tidak ada dogma. Yang ada adalah kata bantu yang telah disarikan dari sastra dan veda, oleh para pendahulu kita, agar lebih banyak lagi umat yang mendapatkan pencerahan, dalam pencarian kebenaran yang hakiki.

2.  Susila
Susila merupakan kerangka dasar Agama Hindu yang kedua setelah filsafat (Tattwa). Susila memegang peranan penting bagi tata kehidupan manusia sehari-hari. Realitas hidup bagi seseorang dalam berkomunikasi dengan lingkungannya akan menentukan sampai di mana kadar budi pekerti yang bersangkutan. la akan memperoleh simpati dari orang lain manakala dalam pola hidupnya selalu mencerminkan ketegasan sikap yang diwarnai oleh ulah sikap simpatik yang memegang teguh sendi- sendi kesusilaan.
Di dalam filsafat (Tattwa) diuraikan bahwa agama Hindu membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup seutuhnya, oleh sebab itu ajaran sucinya cenderung kepada pendidikan sila dan budi pekerti yang luhur, membina umatnya menjadi manusia susila demi tercapainya kebahagiaan lahir dan batin.
Kata Susila terdiri dari dua suku kata: "Su" dan "Sila". "Su" berarti baik, indah, harmonis. "Sila" berarti perilaku, tata laku. Jadi Susila adalah tingkah laku manusia yang baik terpancar sebagai cermin obyektif kalbunya dalam mengadakan hubungan dengan lingkungannya.
Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang.
Pola hubungan tersebut berprinsip pada ajaran Tat Twam Asi (Ia adalah engkau) mengandung makna bahwa hidup segala makhluk sama, menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan sebaliknya menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Jiwa sosial demikian diresapi oleh sinar tuntunan kesucian Hyang Widi dan sama sekali bukan atas dasar pamrih kebendaan. Dalam hubungan ajaran susila beberapa aspek ajaran sebagai upaya penerapannya sehari- hari diuraikan lagi secara lebih terperinci.
a.  Tri Kaya Parisudha adalah tiga jenis perbuatan yang merupakan landasan ajaran Etika Agama Hindu yang dipedomani oleh setiap individu guna mencapai kesempurnaan dan kesucian hidupnya.
b.  Panca Yama dan Niyama Brata adalah lima kebaikan yang harus dilakukan dan lima keburukan yang harus dipantang.
c.  Tri Mala adalah tiga sifat buruk yang dapat meracuni budi manusia yang harus diwaspadai dan diredam sampai sekecil- kecilnya.
d.  Sad Ripu adalah enam musuh yang di dalam diri manusia yang selalu menggoda, yang mengakibatkan ketidakstabilan emosi.
e.  Catur Asrama adalah empat tingkat kehidupan manusia dalam agama Hindu, disesuaikan dengan tahapan-tahapan jenjang kehidupan yang mempengaruhi prioritas kewajiban menunaikan dharmanya.
f.  Catur Purusa Artha adalah empat dasar tujuan hidup manusia.
g.  Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang.
h.  Catur Guru adalah empat kepribadian yang harus dihormati oleh setiap orang Hindu.
 

3.  Yadnya atau Upacara
Yadnya adalah suatu karya suci yang dilaksanakan dengan ikhlas karena getaran jiwa atau rohani dalam kehidupan ini berdasarkan dharma, sesuai ajaran sastra suci Hindu yang ada (Weda). Yadnya dapat pula diartikan memuja, menghormati, berkorban, mengabdi, berbuat baik (kebajikan), pemberian, dan penyerahan dengan penuh kerelaan (tulus ikhlas) berupa apa yang dimiliki demi kesejahteraan serta kesempurnaan hidup bersama dan kemahamuliaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Di dalamnya terkandung nilai-nilai:
1.    Rasa tulus ikhlas dan kesucian.
2.   Rasa bakti dan memuja (menghormati) Sang Hyang Widhi Wasa, Dewa, Bhatara, Leluhur, Negara dan Bangsa, dan kemanusiaan.
3.   Di dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing menurut tempat (desa), waktu (kala), dan keadaan (patra).
4.   Suatu ajaran dan Catur Weda yang merupakan sumber ilmu pengetahuan suci dan kebenaran yang abadi.
Ø PEMBAGIAN YADNYA
Untuk memudahkan pembahasan, yadnya dibagi-bagi sebagai berikut:
1.  Yadnya Menurut Tingkat Pelaksanaan Yadnya
Di dalam menghayati serta mengamalkan ajaran agama, maka pelaksanaan Yadnya dilakukan secara bertingkat sesuai dengan kemampuan umat masing- masing. Adapun bentuk pelaksanaan Yadnya itu adalah sebagai berikut:
a)  Dalam bentuk pemujaan (sembah, kebaktian) ditujukan kepada:
·       Sang Hyang Widhi Wasa.
·       Para Dewa-Dewi yang merupakan manifestasi kemahakuasaan-Nya.
·       Para Bhatara-Bhatari, Leluhur.
b)  Dalam bentuk penghormatan ditujukan kepada:
·       Pemerintah/Pejabat Pemerintah.
·       Orang-orang yang lebih tua atau yang berkedudukan lebih tinggi.
·       Orang-orang yang berjasa dan para tamu.
·       Makhluk-makhluk yang nampak dan tidak nampak yang lebih rendah derajatnya daripada manusia.
Adapun bentuk rasa hormat yang kita berikan itu adalah tanpa merendahkan martabat diri sendiri, akan tetapi didasarkan atas keikhlasan, ketulusan, dan kerendahan hati dan prinsip saling hormat menghormati, harga menghargai, percaya mempercayai satu dengan yang lain.
c)  Dalam bentuk pengabdian, baik kepada keluarga, masyarakat, Negara, Bangsa, Tanah Air, dan kemanusiaan. Pengabdian yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi Wasa adalah merupakan pengabdian yang tertinggi nilainya. Pengabdian kepada keluarga (anak-istri), masyarakat, Negara, Bangsa, Tanah Air dan kemanusiaan itu, satu dengan yang lainnya saling berkaitan.
Besar kecilnya pengabdian yang dapat kita berikan (abdikan) tergantung atas kemampuan kita masing-masing.
d)  Dalam bentuk cinta dan kasih sayang terhadap semua makhluk hidup, terutama dalam keadaan melarat, menderita, terkena bencana atau malapetaka, di mana kemauan dan tindakan suka serta ikhlas berkorban sangat berperan di dalam bentuk cinta dan kasih sayang ini, demi kebahagiaan bersama dan kesempurnaan hidup.
e)  Dalam bentuk pengorbanan di mana pengorbanan benda, tenaga, pikiran, jiwa dan raga dapat diberikan demi menjunjung tinggi cita-cita yang mulia dan luhur, baik dalam hubungan dharma kepada negara maupun kepada agama (Dharmaning Negara dan Dharmaning Agama).
Dari kelima bentuk pelaksanaan yadnya tersebut dapat disimpulkan bahwa arti yadnya itu sangat luas dalam hubungannya dengan pelaksanaan dharma, bukan saja terbatas pada pelaksanaan Panca Yadnya ataupun pelaksanaan dari berbagai bentuk upacara-upacara yang menggunakan sarana ataupun yang tanpa menggunakan sarana.
Dalam pelaksanaan Upacara Yadnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a)   Adanya kebersihan tempat atau bangunan suci serta sarana upacara.
b)  Adanya keseragaman pelaksanaan Upacara Yadnya.
c)   Ketertiban.
d)  Bahan-bahan Upacara Yadnya yang terdapat di daerah setempat, agar tidak terhalang karena tidak adanya sesuatu alat tertentu.

2.  Yadnya Menurut Jenis yadnya (Panca Yadnya)
Panca Yadnya adalah lima jenis karya suci yang diselenggarakan oleh umat Hindu di dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup. Adapun Panca Yadnya atau Panca Maha Yadnya tersebut terdiri dari:
a)  Dewa Yadnya.
Dewa yadnya ialah suatu korban atau persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan seluruh manifestasi-Nya yang terdiri dari Dewa Brahma selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu selaku Maha Pemelihara dan Dewa Siwa selaku Maha Pralina (pengembali kepada asalnya) dengan mengadakan serta melaksanakan persembahyangan Tri Sandhya (bersembahyang tiga kali dalam sehari) serta Muspa (kebaktian dan pemujaan di tempat-tempat suci). Korban suci tersebut dilaksanakan pada hari-hari suci, hari peringatan (Rerahinan), hari ulang tahun (Pawedalan) ataupun hari-hari raya lainnya seperti: Hari Raya Galungan dan Kuningan, Hari Raya Saraswati, Hari Raya Nyepi dan lain-lain.
b)  Pitra Yadnya.
Pitra yadnya adalah suatu korban atau persembahan suci yang ditujukan kepada Roh-roh suci dan Leluhur (pitra) dengan menghormati dan mengenang jasanya dengan menyelenggarakan upacara Jenasah (Sawa Wedana) sejak tahap permulaan sampai tahap terakhir yang disebut Atma Wedana.
Adapun tujuan dari pelaksanaan Pitra Yadnya ini adalah demi pengabdian dan bakti yang tulus ikhlas, mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah leluhur di alam surga. Memperhatikan kepentingan orang tua dengan jalan mewujudkan rasa bakti, memberikan sesuatu yang baik dan layak, menghormati serta merawat hidup di harituanya juga termasuk pelaksanaan Yadnya. Hal tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia telah berhutang kepada orangtuanya (leluhur) seperti:
·       Kita berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.
·       Kita berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.
·       Kita berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.


c)  Manusa Yadnya.
Manusa yadnya adalah suatu korban suci atau pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup manusia.
Di dalam pelaksanaannya dapat berupa Upacara Yadnya ataupun selamatan, di antaranya ialah:
·       Upacara selamatan (Jatasamskara atau Nyambutin) guna menyambut bayi yang baru lahir.
·       Upacara selamatan (nelubulanin) untuk bayi (anak) yang baru berumur 3 bulan (105 hari).
·       Upacara selamatan setelah anak berumur 6 bulan (oton atau weton).
·       Upacara perkawinan (Wiwaha) yang disebut dengan istilah Abyakala atau Citra Wiwaha atau Widhi-Widhana.
Di dalam menyelenggarakan segala usaha serta kegiatan-kegiatan spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam bentuk yang lebih nyata demi kemajuan dan kebahagiaan hidup si anak di dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan lain-lain guna persiapan menempuh kehidupan bermasyarakat. Juga usaha di dalam memberikan pertolongan dan menghormati sesama manusia mulai dari tata cara menerima tamu (athiti krama), memberikan pertolongan kepada sesama yang sedang menderita (Maitri) yang diselenggarakan dengan tulus ikhlas adalah termasuk Manusa Yadnya.

d)  Resi Yadnya.
Resi yadnya adalah suatu Upacara Yadnya berupa karya suci keagamaan yang ditujukan kepada para Maha Resi, orang-orang suci, Resi, Pinandita, Guru yang di dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam bentuk:
·       Penobatan calon sulinggih menjadi sulinggih yang disebut Upacara Diksa.
·       Membangun tempat-tempat pemujaan untuk Sulinggih.
·       Menghaturkan atau memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada Sulinggih.
·       Mentaati, menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran para Sulinggih.
·       Membantu pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi pekerti luhur, membina, dan mengembangkan ajaran agama.

e)  Bhuta Yadnya.
Adalah suatu korban suci atau pengorbanan suci kepada sarwa bhuta yaitu makhluk-makhluk rendahan, baik yang terlihat (sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala), hewan (binatang), tumbuh- tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang merupakan ciptaan Sang Hyang Widhi Wasa. Adapun pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya ini dapat berupa: Upacara Yadnya (korban suci) yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan atau alam semesta, yang disebut dengan istilah Mecaru atau Tawur Agung, dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara jagat raya ini dengan diri kita yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos.
Di dalam pelaksanaan yadnya biasanya seluruh unsur-unsur Panca Yadnya telah tercakup di dalamnya, sedangkan penonjolannya tergantung yadnya mana yang diutamakan.

3.  Yadnya Menurut Waktu Pelaksanaannya
Menurut ketentuan waktu pelaksanaan Yadnya, umat Hindu mengenal dua jenis Yadnya yang disebut dengan istilah:
a)  Nitya Karma Yadnya.
Yaitu Yadnya yang diselenggarakan atau dilaksanakan setiap hari. Contoh: Tri Sandhya, Memberi suguhan Yadnya Sesa (Ngejot atau Saiban).
b)  Naimittika Karma Yadnya.
Yaitu Yadnya yang diselenggarakan pada waktu- waktu tertentu. Contoh: Upacara Persembahyangan Purnama-Tilem, selamatan, Hari Raya, dan sebagainya.

4.  Yadnya Menurut cara Menjalankannya (Panca Marga)
Panca Marga Yadnya merupakan dasar yang menunjang pelaksanaan Panca Yadnya.
a)  Drewya Yadnya.
Suatu korban suci secara ikhlas dengan menggunakan barang-barang yang dimiliki kepada orang lain pada waktu, tempat, dan alamat yang tepat, demi kepentingan dan kesejahteraan bersama, masyarakat, Negara dan Bangsa. Pada umumnya Drewya Yadnya ini ditujukan kepada:
-  Orang sakit.
-  Orang yang menuntut ilmu.
- Anak- anak yatim-piatu.
-  Para tamu.
-  Para Pendeta.
-  Keluarga yang menderita karena ditinggal tugas.

b)  Tapa Yadnya.
Suatu korban suci dengan jalan bertapa, sebagai jalan peneguhan iman di dalam menghadapi segala jenis godaan agar memiliki ketahanan di dalam perjuangan hidup serta menyukseskan suatu cita-cita luhur.
Suatu kegiatan Tapa jika dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menghindarkan diri dari berbagai kewajiban dalam kehidupan ini, tidak dapat kita katakan sebagai Tapa Yadnya. Tapa Yadnya justru dilaksanakan demi menegakkan dharma, sehingga kekuatannya akan menelurkan adanya ketenangan, ketentraman, serta kebahagiaan, baik bagi pelakunya maupun bagi masyarakat banyak. Tapa Yadnya termasuk Yadnya yang sangat berat, akan tetapi sangat mulia dan tinggi nilainya dari sudut spiritual.
Apabila diyakini pelaksanaannya maka akan dicapai apa yang disebut "SATYAM EVA JAYATE" yang berarti hanya kebenaran yang menang pada akhirnya.

 

c)  Swadyaya Yadnya.
Suatu korban suci yang menggunakan sarana "diri sendiri" sebagai kurbannya (Sadhana), yang dilaksanakan dengan tulus ikhlas karena terdorong oleh perasaan kasih sayang yang sangat mendalam, umpamanya berupa berbagai jenis organ tubuh, seperti daging, darah, tenaga, pikiran, mata, jantung, dan sebagainya. Swadyaya Yadnya dilaksanakan benar-benar demi:
- Rasa cinta kasih yang sejati.
-     Rasa tanggung jawab yang sangat besar.
-    Panggilan rasa kemanusiaan.
-    Rasa bakti karena panggilan jiwa.
Demikian besar pengorbanan yang dituntut bagi pelaksanaan Swadyaya Yadnya sehingga menjadikan pelakunya sebagai manusia yang luar biasa. Para anggota ABRI yang berjuang demi membela Bangsa dan Negara, para penerima hadiah Nobel untuk perdamaian dan kemanusiaan dapat digolongkan sebagai pelaksana-pelaksana dari Swadyaya Yadnya.

d)  Yoga Yadnya.
Suatu korban suci dengan cara menghubungkan diri (menyatukan cipta, rasa, dan karsa) ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa yang sifatnya sangat mendalam, sehingga si pelaksana (Yogin) tersebut benar-benar merasakan bersatu serta manunggal dengan-Nya, mencapai alam kesucian atau Moksa. Tetapi tidaklah semudah sebagaimana yang telah diajarkan serta diuraikan di dalam berbagai Sastra Yoga yang ada, melainkan ada beberapa bekal minimal di dalam rangka melaksanakan Yoga Yadnya, seperti umpamanya:
- Ilmu pengetahuan tentang berbagai selukbeluk Yoga (sastra-sastra Yoga mulai dari Yoga Asanas, Hatta Yoga, Kundalini Yoga, Raja Yoga, dan sebagainya).
- Adanya kesanggupan dan kemampuan serta keberanian di dalam melaksanakan Yoga Yadnya itu. Keyakinan, kesanggupan, serta kemampuan melaksanakan "Tri Kaya Parisudha" yaitu berpikir, berbicara, serta berbuat suci dan benar.
- Suci lahir dan batin serta mengenal berbagai ilmu mengenai jalan menuju Moksa. Mengerti serta mengetahui bagaimana caranya untuk mencapai Moksa.
-  Meyakini ajaran Panca Sradha.

e)  Jnana Yadnya.
Jnana Yadnya berarti korban suci yang menyeluruh, yang berintikan dasar pengetahuan dan kesucian.
Para Maha Resi terdahulu telah sanggup melaksanakan korban suci Jnana Yadnya ini, karena kesanggupan dan kemampuan beliau mengolah pikiran dengan ilmu pengetahuan kesuciannya itu sehingga mampu untuk menerima wahyu dari Sang Hyang Widhi Wasa, yang dipergunakan oleh umat manusia sebagai pedoman dalam mengatur kehidupan material dan spiritual dalam usaha mencapai kebahagiaan di dunia (jagadhita) dan kedamaian abadi di akhirat (Moksa). Di antara para Maha Resi Hindu yang telah berhasil di dalam melaksanakan Jnana Yadnya ini antara lain:
- Bhagawan Abhyasa, sebagai Maha Resi penerima wahyu yang telah mengkodifikasikan CATUR WEDA (Catur Weda Sruti).
- Bhagawan Wararuci, sebagai Maha Resi yang telah menyusun sari pati dari Astha Dasa Parwa (Mahabarata) diwujudkan dalam kitab Sarasamuçcaya.
- Sang Krishna, Sang Rama Dewa.

Kesemuanya adalah pelaksana Jnana Yadnya yang telah mencapai kedudukan tertinggi di antara umat manusia pada jamannya maupun pada jaman-jaman berikutnya sampai sekarang.

0 komentar:

Posting Komentar

Total Pengunjung

 
Powered by Blogger | Downloaded from free website templates