Dalam ajaran Agama Hindu dapat dibagi
menjadi tiga bagian yang dikenal dengan "Tiga Kerangka Dasar", di
mana bagian yang satu dengan lainnya saling isi mengisi atau berkaitan dan
merupakan satu kesatuan yang bulat untuk dihayati dan diamalkan guna mencapai
tujuan agama yang disebut Jagadhita dan Moksa.
Tiga Kerangka Dasar tersebut adalah:
Tattwa
(Filsafat)
Susila
(Etika)
Upacara (Yadnya)
1. Tattwa
Agama
Hindu mempunyai kerangka dasar kebenaran yang sangat kokoh karena masuk akal
dan konseptual. Konsep pencarian kebenaran yang hakiki di dalam Hindu diuraikan
dalam ajaran filsafat yang disebut Tattwa. Tattwa dalam agama Hindu dapat
diserap sepenuhnya oleh pikiran manusia melalui beberapa cara dan pendekatan
yang disebut Pramana. Ada 3 (tiga) cara penyerapan pokok yang disebut Tri Pramana.
Tri Pramana ini, menyebabkan akal budi dan pengertian manusia dapat menerima
kebenaran hakiki dalam tattwa, sehingga berkembang menjadi keyakinan dan
kepercayaan. Kepercayaan dan keyakinan dalam Hindu disebut dengan sradha. Dalam
Hindu, sradha dibagi menjadi 5 (lima) esensi, disebut Panca Sradha.
Berbekal
Panca Sradha yang diserap menggunakan Tri Pramana ini, perjalanan hidup seorang
Hindu menuju ke satu tujuan yang pasti. Ke arah kesempurnaan lahir dan batin
yaitu Jagadhita dan Moksa. Ada 4 (empat) jalan yang bisa ditempuh, jalan itu
disebut Catur Marga.
Demikianlah
tattwa Hindu Dharma. Tidak terlalu rumit, namun penuh kepastian. Istilah-istilah
yang disebutkan di atas janganlah dianggap sebagai dogma, karena dalam Hindu
tidak ada dogma. Yang ada adalah kata bantu yang telah disarikan dari sastra
dan veda, oleh para pendahulu kita, agar lebih banyak lagi umat yang
mendapatkan pencerahan, dalam pencarian kebenaran yang hakiki.
2.
Susila

Susila
merupakan kerangka dasar Agama Hindu yang kedua setelah filsafat (Tattwa).
Susila memegang peranan penting bagi tata kehidupan manusia sehari-hari.
Realitas hidup bagi seseorang dalam berkomunikasi dengan lingkungannya akan
menentukan sampai di mana kadar budi pekerti yang bersangkutan. la akan
memperoleh simpati dari orang lain manakala dalam pola hidupnya selalu
mencerminkan ketegasan sikap yang diwarnai oleh ulah sikap simpatik yang
memegang teguh sendi- sendi kesusilaan.
Di
dalam filsafat (Tattwa)
diuraikan bahwa agama Hindu membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan
hidup seutuhnya, oleh sebab itu ajaran sucinya cenderung kepada pendidikan sila
dan budi pekerti yang luhur, membina umatnya menjadi manusia susila demi
tercapainya kebahagiaan lahir dan batin.
Kata
Susila terdiri dari dua suku kata: "Su" dan "Sila".
"Su" berarti baik, indah, harmonis. "Sila" berarti
perilaku, tata laku. Jadi Susila adalah tingkah laku manusia yang baik
terpancar sebagai cermin obyektif kalbunya dalam mengadakan hubungan dengan
lingkungannya.
Pengertian
Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal balik
yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta
(lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya),
keikhlasan dan kasih sayang.
Pola
hubungan tersebut berprinsip pada ajaran Tat Twam Asi (Ia adalah engkau)
mengandung makna bahwa hidup segala makhluk sama, menolong orang lain berarti
menolong diri sendiri, dan sebaliknya menyakiti orang lain berarti pula
menyakiti diri sendiri. Jiwa sosial demikian diresapi oleh sinar tuntunan
kesucian Hyang Widi dan sama sekali bukan atas dasar pamrih kebendaan. Dalam
hubungan ajaran susila beberapa aspek ajaran sebagai upaya penerapannya sehari-
hari diuraikan lagi secara lebih terperinci.
a. Tri Kaya
Parisudha adalah tiga jenis perbuatan yang merupakan landasan
ajaran Etika Agama Hindu yang dipedomani oleh setiap individu guna mencapai
kesempurnaan dan kesucian hidupnya.
b. Panca Yama
dan Niyama Brata adalah lima kebaikan yang harus dilakukan dan lima
keburukan yang harus dipantang.
c. Tri Mala
adalah tiga sifat buruk yang dapat meracuni budi manusia yang harus diwaspadai
dan diredam sampai sekecil- kecilnya.
d. Sad Ripu
adalah enam musuh yang di dalam diri manusia yang selalu menggoda, yang
mengakibatkan ketidakstabilan emosi.
e. Catur Asrama
adalah empat tingkat kehidupan manusia dalam agama Hindu, disesuaikan dengan
tahapan-tahapan jenjang kehidupan yang mempengaruhi prioritas kewajiban
menunaikan dharmanya.
f. Catur Purusa
Artha adalah empat dasar tujuan hidup manusia.
g. Catur Warna
berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan
atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang.
h. Catur Guru
adalah empat kepribadian yang harus dihormati oleh setiap orang Hindu.

3.
Yadnya atau Upacara
Yadnya
adalah suatu karya suci yang dilaksanakan dengan ikhlas karena getaran jiwa
atau rohani dalam kehidupan ini berdasarkan dharma, sesuai ajaran sastra suci
Hindu yang ada (Weda). Yadnya dapat pula diartikan memuja, menghormati,
berkorban, mengabdi, berbuat baik (kebajikan), pemberian, dan penyerahan dengan
penuh kerelaan (tulus ikhlas) berupa apa yang dimiliki demi kesejahteraan serta
kesempurnaan hidup bersama dan kemahamuliaan Sang Hyang Widhi Wasa.
Di dalamnya terkandung nilai-nilai:
Di dalamnya terkandung nilai-nilai:
1. Rasa tulus ikhlas dan kesucian.
2. Rasa bakti dan memuja (menghormati)
Sang Hyang Widhi Wasa, Dewa, Bhatara, Leluhur, Negara dan Bangsa, dan
kemanusiaan.
3. Di dalam pelaksanaannya disesuaikan
dengan kemampuan masing-masing menurut tempat (desa), waktu (kala), dan keadaan
(patra).
4. Suatu ajaran dan Catur Weda yang
merupakan sumber ilmu pengetahuan suci dan kebenaran yang abadi.
Ø PEMBAGIAN YADNYA
Untuk memudahkan pembahasan, yadnya
dibagi-bagi sebagai berikut:
1.
Yadnya Menurut Tingkat
Pelaksanaan Yadnya

Di
dalam menghayati serta mengamalkan ajaran agama, maka pelaksanaan Yadnya
dilakukan secara bertingkat sesuai dengan kemampuan umat masing- masing. Adapun
bentuk pelaksanaan Yadnya itu adalah sebagai berikut:
a) Dalam bentuk pemujaan (sembah,
kebaktian) ditujukan kepada:
· Sang Hyang Widhi Wasa.
· Para Dewa-Dewi yang merupakan
manifestasi kemahakuasaan-Nya.
· Para Bhatara-Bhatari, Leluhur.
b) Dalam bentuk penghormatan ditujukan
kepada:
· Pemerintah/Pejabat Pemerintah.
· Orang-orang yang lebih tua atau yang
berkedudukan lebih tinggi.
· Orang-orang yang berjasa dan para tamu.
· Makhluk-makhluk yang nampak dan tidak
nampak yang lebih rendah derajatnya daripada manusia.
Adapun
bentuk rasa hormat yang kita berikan itu adalah tanpa merendahkan martabat diri
sendiri, akan tetapi didasarkan atas keikhlasan, ketulusan, dan kerendahan hati
dan prinsip saling hormat menghormati, harga menghargai, percaya mempercayai
satu dengan yang lain.
c) Dalam bentuk pengabdian, baik kepada
keluarga, masyarakat, Negara, Bangsa, Tanah Air, dan kemanusiaan. Pengabdian
yang ditujukan kepada Sang Hyang Widhi Wasa adalah merupakan pengabdian yang
tertinggi nilainya. Pengabdian kepada keluarga (anak-istri), masyarakat,
Negara, Bangsa, Tanah Air dan kemanusiaan itu, satu dengan yang lainnya saling
berkaitan.
Besar kecilnya pengabdian yang dapat kita berikan (abdikan) tergantung atas kemampuan kita masing-masing.
Besar kecilnya pengabdian yang dapat kita berikan (abdikan) tergantung atas kemampuan kita masing-masing.
d) Dalam bentuk cinta dan kasih sayang
terhadap semua makhluk hidup, terutama dalam keadaan melarat, menderita,
terkena bencana atau malapetaka, di mana kemauan dan tindakan suka serta ikhlas
berkorban sangat berperan di dalam bentuk cinta dan kasih sayang ini, demi
kebahagiaan bersama dan kesempurnaan hidup.
e) Dalam bentuk pengorbanan di mana
pengorbanan benda, tenaga, pikiran, jiwa dan raga dapat diberikan demi
menjunjung tinggi cita-cita yang mulia dan luhur, baik dalam hubungan dharma
kepada negara maupun kepada agama (Dharmaning Negara dan Dharmaning Agama).
Dari kelima bentuk pelaksanaan yadnya
tersebut dapat disimpulkan bahwa arti yadnya itu sangat luas dalam hubungannya
dengan pelaksanaan dharma, bukan saja terbatas pada pelaksanaan Panca Yadnya
ataupun pelaksanaan dari berbagai bentuk upacara-upacara yang menggunakan
sarana ataupun yang tanpa menggunakan sarana.
Dalam pelaksanaan Upacara Yadnya ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan:
a) Adanya kebersihan tempat atau bangunan
suci serta sarana upacara.
b) Adanya keseragaman pelaksanaan Upacara
Yadnya.
c) Ketertiban.
d) Bahan-bahan Upacara Yadnya yang
terdapat di daerah setempat, agar tidak terhalang karena tidak adanya sesuatu
alat tertentu.
2.
Yadnya Menurut Jenis
yadnya (Panca Yadnya)

Panca Yadnya adalah lima jenis karya
suci yang diselenggarakan oleh umat Hindu di dalam usaha mencapai kesempurnaan
hidup. Adapun Panca Yadnya atau Panca Maha Yadnya tersebut terdiri dari:
a)
Dewa Yadnya.

Dewa yadnya ialah suatu korban atau persembahan
suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa dan seluruh manifestasi-Nya yang terdiri dari
Dewa Brahma selaku Maha Pencipta, Dewa Wisnu selaku Maha Pemelihara dan Dewa
Siwa selaku Maha Pralina (pengembali kepada asalnya) dengan mengadakan serta
melaksanakan persembahyangan Tri Sandhya (bersembahyang tiga kali dalam sehari)
serta Muspa (kebaktian dan pemujaan di tempat-tempat suci). Korban suci tersebut
dilaksanakan pada hari-hari suci, hari peringatan (Rerahinan), hari ulang tahun
(Pawedalan) ataupun hari-hari raya lainnya seperti: Hari Raya Galungan dan
Kuningan, Hari Raya Saraswati, Hari Raya Nyepi dan lain-lain.
b)
Pitra Yadnya.

Pitra yadnya adalah suatu korban atau persembahan
suci yang ditujukan kepada Roh-roh suci dan Leluhur (pitra) dengan menghormati
dan mengenang jasanya dengan menyelenggarakan upacara Jenasah (Sawa Wedana)
sejak tahap permulaan sampai tahap terakhir yang disebut Atma Wedana.
Adapun tujuan dari pelaksanaan Pitra
Yadnya ini adalah demi pengabdian dan bakti yang tulus ikhlas, mengangkat serta
menyempurnakan kedudukan arwah leluhur di alam surga. Memperhatikan kepentingan
orang tua dengan jalan mewujudkan rasa bakti, memberikan sesuatu yang baik dan
layak, menghormati serta merawat hidup di harituanya juga termasuk pelaksanaan
Yadnya. Hal tersebut dilaksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunannya ia
telah berhutang kepada orangtuanya (leluhur) seperti:
·
Kita
berhutang badan yang disebut dengan istilah Sarirakrit.
·
Kita
berhutang budi yang disebut dengan istilah Anadatha.
·
Kita
berhutang jiwa yang disebut dengan istilah Pranadatha.
c)
Manusa Yadnya.

Manusa yadnya adalah suatu korban suci
atau pengorbanan suci demi kesempurnaan hidup manusia.
Di dalam pelaksanaannya dapat berupa
Upacara Yadnya ataupun selamatan, di antaranya ialah:
·
Upacara
selamatan (Jatasamskara atau Nyambutin) guna menyambut bayi yang baru lahir.
·
Upacara
selamatan (nelubulanin) untuk bayi (anak) yang baru berumur 3 bulan (105 hari).
·
Upacara
selamatan setelah anak berumur 6 bulan (oton atau weton).
·
Upacara
perkawinan (Wiwaha) yang disebut dengan istilah Abyakala atau Citra Wiwaha atau
Widhi-Widhana.
Di dalam menyelenggarakan segala usaha
serta kegiatan-kegiatan spiritual tersebut masih ada lagi kegiatan dalam bentuk
yang lebih nyata demi kemajuan dan kebahagiaan hidup si anak di dalam bidang pendidikan,
kesehatan, dan lain-lain guna persiapan menempuh kehidupan bermasyarakat. Juga
usaha di dalam memberikan pertolongan dan menghormati sesama manusia mulai dari
tata cara menerima tamu (athiti krama), memberikan pertolongan kepada sesama
yang sedang menderita (Maitri) yang diselenggarakan dengan tulus ikhlas adalah
termasuk Manusa Yadnya.
d)
Resi Yadnya.

Resi yadnya adalah suatu Upacara Yadnya
berupa karya suci keagamaan yang ditujukan kepada para Maha Resi, orang-orang
suci, Resi, Pinandita, Guru yang di dalam pelaksanaannya dapat diwujudkan dalam
bentuk:
·
Penobatan
calon sulinggih menjadi sulinggih yang disebut Upacara Diksa.
·
Membangun
tempat-tempat pemujaan untuk Sulinggih.
·
Menghaturkan
atau memberikan punia pada saat- saat tertentu kepada Sulinggih.
·
Mentaati,
menghayati, dan mengamalkan ajaran- ajaran para Sulinggih.
·
Membantu
pendidikan agama di dalam menggiatkan pendidikan budi pekerti luhur, membina,
dan mengembangkan ajaran agama.
e)
Bhuta Yadnya.

Adalah suatu korban suci atau pengorbanan
suci kepada sarwa bhuta yaitu makhluk-makhluk rendahan, baik yang terlihat
(sekala) ataupun yang tak terlihat (niskala), hewan (binatang), tumbuh-
tumbuhan, dan berbagai jenis makhluk lain yang merupakan ciptaan Sang Hyang
Widhi Wasa. Adapun pelaksanaan upacara Bhuta Yadnya ini dapat berupa: Upacara
Yadnya (korban suci) yang ditujukan kepada makhluk yang kelihatan atau alam
semesta, yang disebut dengan istilah Mecaru atau Tawur Agung, dengan tujuan
untuk menjaga keseimbangan, kelestarian antara jagat raya ini dengan diri kita
yaitu keseimbangan antara makrokosmos dengan mikrokosmos.
Di dalam pelaksanaan yadnya biasanya
seluruh unsur-unsur Panca Yadnya telah tercakup di dalamnya, sedangkan
penonjolannya tergantung yadnya mana yang diutamakan.
3.
Yadnya Menurut Waktu
Pelaksanaannya


a)
Nitya Karma Yadnya.
Yaitu Yadnya yang diselenggarakan atau dilaksanakan
setiap hari. Contoh: Tri Sandhya, Memberi suguhan Yadnya Sesa (Ngejot atau Saiban).
b)
Naimittika Karma Yadnya.

Yaitu Yadnya yang diselenggarakan pada
waktu- waktu tertentu. Contoh: Upacara Persembahyangan Purnama-Tilem,
selamatan, Hari Raya, dan sebagainya.
4.
Yadnya Menurut cara
Menjalankannya (Panca Marga)

Panca Marga Yadnya merupakan dasar yang
menunjang pelaksanaan Panca Yadnya.
a)
Drewya Yadnya.

Suatu korban suci secara ikhlas dengan
menggunakan barang-barang yang dimiliki kepada orang lain pada waktu, tempat,
dan alamat yang tepat, demi kepentingan dan kesejahteraan bersama, masyarakat,
Negara dan Bangsa. Pada umumnya Drewya Yadnya ini ditujukan kepada:
- Orang sakit.
- Orang yang menuntut ilmu.
- Anak- anak yatim-piatu.
- Para tamu.
- Para Pendeta.
- Keluarga yang menderita karena
ditinggal tugas.
b)
Tapa Yadnya.

Suatu korban suci dengan jalan bertapa,
sebagai jalan peneguhan iman di dalam menghadapi segala jenis godaan agar
memiliki ketahanan di dalam perjuangan hidup serta menyukseskan suatu cita-cita
luhur.
Suatu kegiatan Tapa jika
dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menghindarkan diri dari berbagai
kewajiban dalam kehidupan ini, tidak dapat kita katakan sebagai Tapa Yadnya.
Tapa Yadnya justru dilaksanakan demi menegakkan dharma, sehingga kekuatannya
akan menelurkan adanya ketenangan, ketentraman, serta kebahagiaan, baik bagi
pelakunya maupun bagi masyarakat banyak. Tapa Yadnya termasuk Yadnya yang
sangat berat, akan tetapi sangat mulia dan tinggi nilainya dari sudut
spiritual.
Apabila diyakini pelaksanaannya maka akan dicapai apa yang disebut "SATYAM EVA JAYATE" yang berarti hanya kebenaran yang menang pada akhirnya.
Apabila diyakini pelaksanaannya maka akan dicapai apa yang disebut "SATYAM EVA JAYATE" yang berarti hanya kebenaran yang menang pada akhirnya.
c)
Swadyaya Yadnya.
Suatu korban suci yang menggunakan
sarana "diri sendiri" sebagai kurbannya (Sadhana), yang dilaksanakan
dengan tulus ikhlas karena terdorong oleh perasaan kasih sayang yang sangat
mendalam, umpamanya berupa berbagai jenis organ tubuh, seperti daging, darah,
tenaga, pikiran, mata, jantung, dan sebagainya. Swadyaya Yadnya dilaksanakan
benar-benar demi:
- Rasa cinta kasih yang sejati.
- Rasa tanggung jawab yang sangat besar.
- Panggilan rasa kemanusiaan.
- Rasa bakti karena panggilan jiwa.
Demikian besar pengorbanan yang
dituntut bagi pelaksanaan Swadyaya Yadnya sehingga menjadikan pelakunya sebagai
manusia yang luar biasa. Para anggota ABRI yang berjuang demi membela Bangsa
dan Negara, para penerima hadiah Nobel untuk perdamaian dan kemanusiaan dapat
digolongkan sebagai pelaksana-pelaksana dari Swadyaya Yadnya.
d)
Yoga Yadnya.

Suatu korban suci dengan cara
menghubungkan diri (menyatukan cipta, rasa, dan karsa) ke hadapan Sang Hyang
Widhi Wasa yang sifatnya sangat mendalam, sehingga si pelaksana (Yogin)
tersebut benar-benar merasakan bersatu serta manunggal dengan-Nya, mencapai
alam kesucian atau Moksa. Tetapi tidaklah semudah sebagaimana yang telah
diajarkan serta diuraikan di dalam berbagai Sastra Yoga yang ada, melainkan ada
beberapa bekal minimal di dalam rangka melaksanakan Yoga Yadnya, seperti
umpamanya:
- Ilmu pengetahuan tentang berbagai
selukbeluk Yoga (sastra-sastra Yoga mulai dari Yoga Asanas, Hatta Yoga,
Kundalini Yoga, Raja Yoga, dan sebagainya).
- Adanya kesanggupan dan kemampuan serta
keberanian di dalam melaksanakan Yoga Yadnya itu. Keyakinan, kesanggupan, serta
kemampuan melaksanakan "Tri Kaya Parisudha" yaitu berpikir, berbicara,
serta berbuat suci dan benar.
- Suci lahir dan batin serta mengenal
berbagai ilmu mengenai jalan menuju Moksa. Mengerti serta mengetahui bagaimana
caranya untuk mencapai Moksa.
- Meyakini ajaran Panca Sradha.
e)
Jnana Yadnya.

Jnana Yadnya berarti korban suci yang
menyeluruh, yang berintikan dasar pengetahuan dan kesucian.
Para Maha Resi terdahulu telah sanggup
melaksanakan korban suci Jnana Yadnya ini, karena kesanggupan dan kemampuan
beliau mengolah pikiran dengan ilmu pengetahuan kesuciannya itu sehingga mampu
untuk menerima wahyu dari Sang Hyang Widhi Wasa, yang dipergunakan oleh umat
manusia sebagai pedoman dalam mengatur kehidupan material dan spiritual dalam
usaha mencapai kebahagiaan di dunia (jagadhita) dan kedamaian abadi di akhirat
(Moksa). Di antara para Maha Resi Hindu yang telah berhasil di dalam
melaksanakan Jnana Yadnya ini antara lain:
- Bhagawan Abhyasa, sebagai Maha Resi penerima wahyu yang
telah mengkodifikasikan CATUR WEDA (Catur Weda Sruti).
- Bhagawan Wararuci, sebagai Maha Resi yang telah menyusun
sari pati dari Astha Dasa Parwa (Mahabarata) diwujudkan dalam kitab
Sarasamuçcaya.
- Sang Krishna, Sang Rama Dewa.
Kesemuanya adalah pelaksana Jnana
Yadnya yang telah mencapai kedudukan tertinggi di antara umat manusia pada
jamannya maupun pada jaman-jaman berikutnya sampai sekarang.
0 komentar:
Posting Komentar